Pembagian daging kurban kembali menelan
kurban. Rangkaian kegiatan pada Hari
Raya Idul Adha adalah menyembelih hewan kurban yang dilanjutkan dengan
penyaluran kepada masyarakat. Hampir tiap tahun selalu ada kericuhan, bahkan
ada yang sampai menimbulkan kurban nyawa.
Liputan 6 Petang SCTV, memberitakan pembagian
daging kurban di Mapolrestabes Surabaya ricuh (Minggu, 05/10). Begitu pembagian
dimulai, masyarakat berdesakan untuk berebut daging kurban. Polisi yang
bertugas jumlahnya kurang, tidak mampu mengamankan kericuhan ini. Memang tidak
sampai timbul korban nyawa, tapi ada
seorang nenek yang kakinya terinjak sampai luka.
Pemandangan yang kurang baik. Mengapa
pemandangan itu selalu terjadi setiap tahun. Bukan hanya saat pembagian daging
kurban saja. Hal itu terjadi juga saat pembagian zakat di Hari Raya Idul Fitri
dan pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT). Sampai BLT dipelesetkan Bantuan
Langsung Tewas.
Kejadian ini, mengajak saya untuk
berpikir. Pertama terkait dengan kinerja panitia. Perlu dipikirkan mekanisme
yang tidak memungkinkan terjadinya rebutan. Beberapa hal dapat memicu
terjadinya perilaku berebut. Antara lain terik matahari yang panas, pembagian
yang hanya dilakukan di satu tempat.
Kedua. Apakah benar masyarakat kita
tidak mempunya budaya antree? Kalau memang benar demikian, tidak hanya
ditanggapi dengan prihatin saja. Harus diambil tindakan nyata secepatnya. Siapapun
yang mempunyai kewenangan harus
bertindak sesuai dengan kewenangannya. Orang tua membiasakan antree kepada
putra-putrinya. Guru membiasakan antree kepada siswanya. Pejabat membiasakan
antree kepada stafnya. Komandan membiasakan antree kepada anak buahnya. Begitu seterusnya.
Ketiga. Setiap ada pembagian atau
pemberian yang gratis selalu disambut gembira oleh masyarakat. Saking gembiranya
selalu diikuti dengan berebut. Yang berebut bukan hanya masyarakat miskin. Ini merupakan
indikator, bahwa masyarakat kita lebih senang menerima dari pada memberi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar